Belakangan ini istilah ‘Monkey Business’ menjadi cukup populer di tengah-tengah merebaknya kasus penimbun masker yang merugi. Ya, istilah Monkey Business ini memang sudah dikenal cukup lama, terutama jika anda masuk ke dunia pasar modal/saham dimana para pelaku skema bisnis ini sudah tidak bisa dihitung lagi jumlahnya.
Sebelum kita lanjut ke pembahasan lebih jauh, mari kita bahas terlebih dahulu sejarah dari cerita di balik istilah Monkey Business ini. Diawali dari seorang pengusaha kaya yang membeli monyet seharga 1 juta (anggap saja harga pasarannya segitu). Pengusaha ini lalu merasa tidak cukup, dan akhirnya meminta untuk mencari monyet lebih banyak lagi.
Kabar ini tentu cepat meluas (tentu saja, sebab ini berhubungan dengan peluang bisnis dan keuntungan) ke masyarakat, yang akhirnya membuat masyarakat segera berlomba-lomba mencari monyet untuk dijual ke pengusaha kaya tersebut. Lambat laun, monyet-monyet habis diburu dan dijual ke pengusaha tersebut sebesar 1 sampai 1.5 juta.
Karena populasi monyet sudah berkurang dan makin sulit dicari, akhirnya pengusaha tersebut menaikan harga penawaran ke angka 2 juta dan kejadian itu terulang lagi seperti di awal-awal saat dia mencari harga 1 juta. Masyarakat yang semakin berapi-api akhirnya terus memburu monyet lain, dan bahkan rela merogoh kocek untuk membeli monyet yang dijual oleh pemburu lain atau membuat peternakan monyet sendiri. Dari sini, tentu harga pasar sudah naik habis-habisan karena banyaknya permintaan.
Ketika populasi monyet habis dan si pengusaha tidak bisa mendapatkan lagi monyet sampai harga tertentu, maka ia akan memulai untuk menjual monyetnya kembali ke masyarakat dengan memperhitungkan margin keuntungan yang ia dapat. Sebut saja rata-rata harga monyet yang ia beli adalah 3.8 juta, maka seekor monyet dijual seharga 4 juta sudah cukup untung bukan? Bahkan harga ini bisa lebih murah dari harga pasar yang ternyata sudah menembus sampai 6 juta karena permintaan tinggi tadi.
Masyarakat yang masih terkena efek dari skema bisnis ini, tentu berlomba-lomba untuk membeli monyet yang harganya ‘di bawah pasar’ tersebut. Karena si pengusaha sudah selesai dengan tugasnya, maka tidak ada lagi permintaan monyet dengan harga tinggi. Harga pun berangsur menurun seiring dengan banyaknya stock yang ada di pasaran. Dari sinilah masalah timbul dan akhirnya banyak penjual monyet dadakan yang merugi karena tidak menyadari bahwa mereka telah dikerjai.
Fenomena Monkey Business di Tengah Wabah Corona
Hal ini persis sama ketika kejadian yang menimpa para penimbun masker. Mereka sekarang mulai sakit kepala karena kerugian yang diderita akibat dari Monkey Business ini. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa ternyata masker bedah yang dijual di pasaran ternyata bisa digantikan dengan masker kain dengan harga yang relatif jauh lebih murah.
Ditambah lagi konsumen masker terbesar, yaitu negara China sudah mulai mengurangi permintaan masker karena wabah Corona di negara mereka sudah berangsur membaik. Sekarang para penimbun amsker mulai berlomba-lomba untuk menjual barang timbunan mereka dengan harga adu murah (ada yang sampai membuat tweet “twitter do your magic” malah).
Ini yang terjadi jika anda hanya ikut bisnis atau jualan tanpa perencanaan dan pengetahuan berdagang yang cukup matang alias dadakan. Anda bisa saja terjerat berbagai skema bisnis yang tidak membawa keuntungan, dan malah menyedot keuangan anda. Sudah sulit dapat kerja karena wabah, sekarang malah harus menanggung rugi karena fenomena ini. Benar-benar miris.
Menimbun Barang yang Mengakibatkan Kelangkaan itu Dilarang Undang-Undang!
Pemerintah tentu tidak diam saja dalam menghadapi potensi merugikan ini, sebagaimana mereka mengaturnya dalam undang-undang Pasal 29 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”). Selain potensi kerugian yang besar, kelakuan menimbun barang juga bisa mengakibatkan masalah sosial seperti kelangkaan.
Kasus-kasus Monkey Business seperti ini sudah terjadi sejak lama, mulai dari tumbuhan gelombang cinta sampai ikan louhan. Dan masyarakat sepertiya tidak pernah cukup belajar dari kedua kejadian itu. Memang jualan tidak dilarang hukum, tapi tidakkah sedikit menggunakan akal sehat sebelum memutuskan untuk jualan?
Potensi rugi terbesar adalah mereka yang baru ikut-ikutan di akhir periode, dimana harga sudah naik gila-gilaan dan siap untuk terjun bebas. Dan ini yang sekarang sedang terjadi di masyarakat. Jadi, sebelum anda ikut-ikutan berjualan, ada baiknya anda melakukan analisa jangka panjang terlebih dahulu apakah model jualannya termasuk skema bisnis menyedihkan ini atau tidak.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.