Mungkin sebagian dari kita mengenal bangsa jepang lewat produk-produk mereka yang membanjiri pasar dalam negeri khususnya produk di bidang otomotif namun kenapa sebagian besar warga negara jepang lebih memilih jalan kaki, memakai transportasi umum atau sepeda, dalam hal ini bukan berarti mereka tidak mampu membeli kendaraan pribadi beserta bahan bakarnya. ada Delapan Prinsip Keindahan masyarakat jepang dalam mengatur kehidupannya, tujuannya agar meraih kebahagian hidup dalam kesederhanaan.
Terao Ichimu mengungkapkan perbedaan antara keindahan wabi dan sabi sebagai berikut :
[わび]が[さび]と次元を異するのは、[さび]が時の推移を、[わび]が空間的なものを、内包するということである。
Wabi ga sabi to jigen wo i suru no wa, sabi ga toki no sui i wo, wabi ga kuukanteki na mono wo, naihou suru to iu koto de aru.
Berbeda dimensi antara wabi dan sabi. ”Sabi” mengandung makna pergeseran waktu, sedangkan wabi mengacu kepada dimensi ruang.
Pemahaman mengenai perbedaan antara wabi dan sabi dapat dilihat dari dimensinya. Wabi lebih mengacu kepada keindahan dalam konteks atau dimensi ruang, sedangkan sabi mengacu pada keindahan yang terjadi akibat berjalannya waktu. Dengan kata lain, wabi adalah keindahan dalam konteks ruang, dan sabi adalah keindahan dalam konteks atau dimensi waktu.
うらぶれた (Urabureta) Ciri khas yang pertama adalah urabureta. Urabureta secara harafiah berarti keadaan jatuh bangkrut, atau dapat juga diterjemahkan menjadi jatuh miskin. Jatuh bangkrut atau jatuh miskin berarti suatu keadaan yang dialami seseorang yang tadinya memiliki kehidupan yang makmur atau kaya, berubah menjadi bangkrut atau miskin. Kehidupan yang tadinya kaya raya dengan segala harta benda, berubah menjadi kehidupan yang miskin tanpa harta benda sedikitpun, yang tersisa hanya kehidupan yang sederhana yang apa adanya. Keadaan dari punya menjadi tidak punya, dari ada menjadi tidak ada. Namun, dari kehidupan yang jatuh miskin, yang apa adanya dan sederhana tersebut justru terletak keindahan wabi.
悲しく (Kanashiku) Ciri yang kedua adalah kanashiku, yang jika diterjemahkan berarti sedih. Sedih adalah keadaan ketika seseorang merasa tidak senang, tidak bahagia. Kesedihan identik dengan suasana yang muram dan juga sepi. Karena ketika seseorang sedang merasakan kesedihan, ia cenderung akan memilih tempat yang tenang untuk menyendiri. Dibalik perasaan yang sedih, terdapat suatu kepasrahan yang berarti menerima apa yang sedang dialami. Jika seseorang dapat menerima kesedihan yang dialaminya dengan pasrah dan dapat menerima kesedihan yang dirasakannya dengan tegar, maka orang tersebut dikatakan dapat memahami dan menikmati keindahan wabi yang tersembunyi di balik kesedihan yang sedang dihadapinya.
貧しく (Mazushiku) Mazushiku secara harafiah berarti miskin. Miskin berarti keadaan yang tanpa mempunyai apa-apa. Miskin dalam arti material maupun spiritual. Kehidupan yang miskin berarti hidup di tempat yang sederhana dan tidak mewah. Suatu kehidupan yang apa adanya dan sederhana. Dengan kata lain, miskin dapat juga mencerminkan kehidupan yang sederhana yang menjadi ciri khas keindahan wabi.
失意 (Shitsui) Shitsui secara harafiah berarti putus asa. Keadan putus asa adalah keadaan di saat sesuatu yang sangat diinginkan tidak dapat tercapai. Sesuatu tersebut begitu didambakan sehingga ketika tidak dapat tercapai atau tidak dapat diraih, akan menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Ketika sedang dalam keadaan yang kecewa seperti ini, emosi yang dirasakan orang tersebut akan terpancar di wajahnya. Suatu ekspresi yang alami dan tidak dibuat-dibuat yang mencerminkan keindahan wabi.
さみしい何ひとつない (Samishii nani hitotsunai) Samishii nani hitotsunai berarti kesepian tanpa ada sesuatu apapun. Keadaan yang kesepian tanpa sesuatu apapun ini dapat berarti kehidupan yang sepi tanpa siapapun atau tanpa apapun. Keadaan yang miskin spiritual ataupun miskin material, keadaan yang apa adanya dan sederhana, keadaan tidak memiliki apapun sehingga menimbulkan kesan sepi, sepi yang menciptakan perasaan yang tenang yang mencerminkan keindahan wabi.
こころの冬枯れの風光の境地をそのまま慎みの想いをこめて静かに受けとめ (Kokoro no fuyu kare no fūkō no kyōchi wo sono mama tsutsushimi no omoi wo komete shizukani uketomete) Kokoro no fuyu kare no fūkou no kyouchi wo sono mama tsutsumishi no omoi wo komete shizukani uketomete, yang dapat diartikan menjadi pemikiran yang menerima dengan tenang kilauan hembusan angin musim dingin yang kering karena tidak ada satu tumbuhan pun yang dapat hidup karena dinginnya cuaca dan tanah yang tertutup oleh salju. Selain itu, musim dingin yang miskin warna karena warna yang ada hanya warna putih salju dan warna pohon-pohon kering yang tak berdaun. Keadaan musim dingin seperti ini menimbulkan keadaan sepi dan tenang. Namun, dari keadaan yang seperti itulah terletak keindahan wabi, keindahan yang ditimbulkan dari keadaan yang kering, dingin, yang menimbulkan kesan sepi dan tenang.
貧しさを豊かさとなし(Mazushisa wo yutaka to nashi) Mazushisa wo yutaka to nashi secara harafiah berarti kemiskinan menjadi kekayaan. Kehidupan yang miskin berarti kehidupan yang sederhana tanpa harta yang melimpah. Suatu kehidupan yang apa adanya. Namun kehidupan yang miskin tersebut dapat dikatakan kaya jika orang yang menjalaninya dapat menghargai kehidupannya yang miskin tersebut. Orang tersebut dapat bersyukur atas apa yang telah dimilikinya. Keadaan yang seperti ini mencerminkan kemiskinan yang menjadi kekayaan, yang mengandung makna yang dalam dari keindahan wabi.
色即空の世界 (Irosokukū no sekai) Irosokukū no sekai secara harafiah dapat diartikan sebagai “berwarna sama dengan kosong”. Dunia yang berwarna adalah dunia yang kosong, adalah suatu analogi ada kehidupan yang glamour dipermukaan tetapi kosong dalam makna. Kekosongan dalam makna tersebut menciptakan suatu makna tersendiri dan ini merupakan bagian dari nilai estetika wabi. Dengan kata lain, dibalik kekosongan tersebut terkandung keindahan yang memiliki makna yang dalam, yang hanya dapat dipahami jika kita meresapi arti kekosongan tersebut dan dapat merasakan warna atau nuansa yang ditimbulkannya.
Wabi sabi sering juga dikaitkan dengan
rasa damai dalam melihat perubahan alami kehidupan. Menerima fakta bahwa hidup dan hal-hal yang ada di dunia ini tidak kekal, memungkinkan kita untuk lebih menghargai keindahannya. Sebagai contoh, meja kayu yang sudah tua, tampak kusam dan jelek. Dengan menerapkan wabi sabi, kita berusaha melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan meja akibat pengaruh usia.
Secara singkat, wabi sabi fokus kepada ‘menghargai’ dan ‘menerima’ sesuatu yang tidak sempurna–baik karena sudah tua, tidak lengkap, atau memang biasa saja. Konsep wabi sabi menganggap ketidaksempurnaan merupakan bagian dari hidup dan tidak seharusnya disangkal. Jika diterapkan pada diri sendiri, wabi sabi membantu kita menerima kekurangan dan mensyukuri apa yang dipunya saat ini. Filosofi tersebut mengingatkan kita bahwa manusia tinggal sementara di Bumi. Bahwa tubuh dan harta kita akan kembali menjadi debu seiring berjalannya waktu.